catatan kecil

September 4, 2009

Keracunan Opiat

Filed under: Forensik,med papers — ningrum @ 9:42 am

PENDAHULUAN

Seratus tahun yang lalu belum ada obat – obat antibiotik, obat hormonal, atau antipsikotik. Sesungguhnya belum ada obat – obat yang betul bermanfaat, namun beberapa jenis morfin secara efektif telah menghilangkan nyeri yang hebat. Obat – obat ini juga dapat mengontrol diare, batuk, ansietas, dan insomnia,. Dengan alasan ini Sir William Osler menamakan morfin sebagai “obat dewa” (God’s own medicine).

Istilah “narkotik”, sering digunakan dalam hubungannya dengan golongan obat ini, dan istilah ini merupakan istilah yang tepat, karena “narcosis” berarti juga sebagai suatu keadaan stupor atau keadaan penurunan kesadaran (somnolent).(1)

Masalah narkotika dan maraknya kenakalan remaja menjadi perhatian yang serius dari semua pihak. Presiden RI melalui Instruksi Presiden No 6/1971, tentang penanggulangan peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika seperti morphine, heroin, obat-obatan yang mengandung opium dan merokok ganja. Undang- undang yang mengatur tentang zat- zat ini sudah jelas, yaitu Undang- Undang No. 9 tahun 1976 yang berkaitan dengan narkotika.

Dalam UU Narkotika, yang tergolong narkotika adalah ganja, kokain, dan opioid/opiat. Sedangkan yang termasuk jenis opiat adalah morfin dan heroin. Narkotika adalah jenis obat yang biasa digunakan dalam terapi untuk menghilangkan rasa nyeri seperti pada penderita kanker. Sementara, kini, peredaran ilegal narkotika semakin marak. Penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja semakin sulit dibendung. Akibatnya, selama satu dekade terakhir di negeri ini telah ditemukan ratusan ribu pecandu narkotika dan zat adiktif lainnya. Keracunan narkotika juga cepat terjadi dengan menekan pusat pernapasan, napas menjadi lambat, pengguna merasa ‘melayang’, tekanan darah menurun, dan dapat membuat pengguna menjadi koma hingga meninggal dunia. Sekitar 2% dari pengguna narkotika melalui suntikan meninggal dunia setiap tahunnya karena overdosis atau infeksi. Morfin adalah obat yang mewakili kelompok besar opioid yang terdiri dari opium alam (asli), sintetis, semi sintetis, devirat dan garamnya. Sering disalahgunakan untuk memperoleh efek yang tidak ada pada medikasi medis, morfin mempunyai efek analgesik dan morfin sendiri sedikit sekali diabsorpsi dari saluran cerna.
Sangat mungkin bagi seorang dokter untuk membuat visum et repertum yang berkaitan dengan kasus-kasus penyalahgunaan narkotika ini, oleh karena itu, selayaknya kita mengetahui dan memahami zat-zat yang berkaitan dengan narkoba (narkotika dan obat-obatan lainnya), salah satunya adalah morfin dimana gejala-gejala keracunan morfin yang mungkin ditemui pada korban, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.(2,3)

SEJARAH

Sumber opium, zat – zat dari opium yang belum diolah, dan morfin bersumber dari bunga opium Papaver somniferum. Tanaman ini telah digunakan selama lebih dari 6000 tahun, dan penggunaanya terdapat dalam dokumen – dokumen kuno Mesir, Yunani, dan Romawi. Yang menarik pada opium ialah bahwa sampai pada abad ke 18 belum ada perhatiaan akan kecenderungan adiksi opium.

Dasar dari farmakologi modern telah diletakkan oleh Sertüner, seorang ahli farmasi Jerman, yang mengisolasi suatu zat alkali murni yang aktif dari opium pada tahun 1803. Hal ini peristiwa penting dimana telah dimungkinkan untuk menstandarisasi potensi suatu produk alamiah. Setelah melakukan pengujian pada dirinya sendiri dan beberapa kawannya, Sertüner mengajukan ”morfin” untuk senyawa ini, yang berasal dari bahasa Yunani ; Morpheus yang berarti mimpi dari Dewa (God of dreams).(1,4)

DEFINISI

Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin, misalnya. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan.(4)

RESEPTOR OPIOID

Reseptor opioid yang terdapat didalam susunan saraf pusat sama baiknya dengan yang ada disepanjang jaringan periper. Reseptor – reseptor ini normalnya distimulasi oleh peptida endogen (endorphins, enkephalins, dan dynorphins) diproduksi untuk merespon rangsangan yang berbahaya. Dalam dokumen – dokumen yunani nama – nama dari reseptor opioid berdasarkan atas bentuk dasar agonistnya (tabel 1).(4)

  • Mu (µ) (agonis morphine) reseptor – reseptor Mu terutama ditemukan di batang otak, dan thalamus medial. Reseptor – reseptor Mu bertanggung jawab pada analgesia supraspinal, depresi pernapasan, euphoria, sedasi, mengurangi motilitas gastrointestinal, ketergantungan fisik. Yang termasuk bgiannya ialah Mu1 dan Mu2, yang mana Mu1 berhubungan dengan analgesia, euphoria, dan penenang, Mu2 berhubungan dengan depresi pernapasan, preritus, pelepasan prolaktin, ketergantungan, anoreksia, dan sedasi. Ini juga disebut sebagai OP3 atau MOR (morphine opioid receptors).
  • Kappa (κ) (agonis ketocyklazocine) reseptor – reseptor Kappa dijumpai didaerah limbik, area diensephalon, batang otak, dan spinal cord, dan bertanggung jawab pada analgesia spinal, sedasi, dyspnea, ketergantungan, dysphoria, dan depresi pernapasan. Ini juga dikenal dengan nama OP2 atau KOR (kappa opioid receptors).
  • Delta (δ) (agonis delta-alanine-delta-leucine-enkephalin) reseptor – reseptor Delta lokasinya luas di otak dan efek – efeknya belum deketahui dengan baik. Mungkin bertanggung jawab pada psykomimetik dan efek dysphoria. Ini juga dikenal dengan nama OP1 dan DOR (delta opioid receptors).
  • Sigma (σ) (agonis N-allylnormetazocine) reseptor – reseptor Sigma bertanggung jawab pada efek – efek psykomimetik, dysphoria, dan stres-hingga depresi.(4)

Tabel 1 : efek analgesia pada reseptor – reseptor opioid.(3)

gbr 1

Gambar 1 : struktur reseptor opioid.(3)

gbr 2

KLASIFIKASI OPIOID
Yang termasuk golongan opioid ialah :

  • obat yang berasal dari opium-morfin
  • senyawa semisintetik morfin
  • senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.(2)

Didalam klinik opioid dapat digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin). Akan tetapi pembagian ini sebetulnya lebih banyak didasarkan pada efikasi relatifnya, dan bukannya pada potensinya. Opioid kuat mempunyai rentang efikasi yang lebih luas, dan dapat menyembuhkan nyeri yang berat lebih banyak dibandingkan dengan opioid lemah. Penggolongan opioid lain adalah opioid natural (morfin, kodein, pavaperin, dan tebain), semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil). Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid dapat digolongkan menjadi :

1.Agonis opoid

Merupakan obat opioid yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan , dan mungkin pada reseptor k contoh : morfin, m reseptor, terutama pada reseptor papaveretum, petidin (meperidin, demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.

2.Antagonis opioid

Merupakan obat opioid yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor, contoh : nalokson.

3.Agonis-antagonis (campuran) opioid

Merupakan obat opioid dengan kerja campuran, yaitu yang bekerja sebagai agonis pada beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain, contoh pentazosin, nabulfin, butarfanol, bufrenorfin.(4)

Berikut ini merupakan turunan opioit yang sering disalahgunakan : (5)

1. Candu

Getah tanaman Papaver Somniferum didapat dengan menyadap (menggores) buah yang hendak masak. Getah yang keluar berwarna putih dan dinamai “Lates”. Getah ini dibiarkan mengering pada permukaan buah sehingga berwarna coklat kehitaman dan sesudah diolah akan menjadi suatu adonan yang menyerupai aspal lunak. Inilah yang dinamakan candu mentah atau candu kasar. Candu kasar mengandung bermacam-macam zat-zat aktif yang sering disalahgunakan. Candu masak warnanya coklat tua atau coklat kehitaman. Diperjual belikan dalam kemasan kotak kaleng dengan berbagai macam cap, antara lain ular, tengkorak,burung elang, bola dunia, cap 999, cap anjing, dsb. Pemakaiannya dengan cara dihisap.

Gambar 2 : sediaan candu

gbr 3


2. Morfin

Morfin adalah hasil olahan dari opium/candu mentah. Morfin merupaakan alkaloida utama dari opium ( C17H19NO3 ) . Morfin rasanya pahit, berbentuk tepung halus berwarna putih atau dalam bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya dengan cara dihisap dan disuntikkan.

Gambar 3 : sediaan morfin

gbr 4


3. Heroin (putaw)

Heroin mempunyai kekuatan yang dua kali lebih kuat dari morfin dan merupakan jenis opiat yang paling sering disalahgunakan orang di Indonesia pada akhir – akhir ini . Heroin, yang secara farmakologis mirip dengan morfin menyebabkan orang menjadi mengantuk dan perubahan mood yang tidak menentu. Walaupun pembuatan, penjualan dan pemilikan heroin adalah ilegal, tetapi diusahakan heroin tetap tersedia bagi pasien dengan penyakit kanker terminal karena efek analgesik dan euforik-nya yang baik.

Gambar 4 : sediaan heroin

gbr 5


4. Kodein

Codein termasuk garam / turunan dari opium / candu. Efek codein lebih lemah daripada heroin, dan potensinya untuk menimbulkan ketergantungaan rendah. Biasanya dijual dalam bentuk pil atau cairan jernih. Cara pemakaiannya ditelan dan disuntikkan.

Gambar 5 : sediaan kodein

gbr 6


5. Demerol

Nama lain dari Demerol adalah pethidina. Pemakaiannya dapat ditelan atau dengan suntikan. Demerol dijual dalam bentuk pil dan cairan tidak berwarna.

Gambar 6 : sediaan Demerol

gbr 7

FARMAKOKINETIK

A. Absorpsi : Kebanyakan analgesik opioid diabsorpsi dengan baik pada pemberian subkutan dan intramuskular yang sama baiknya dengan absorpsi dari permukaan mukosa hidung atau mulut dan saluran cerna. Selain itu, absorpsi transdermal fentanil menjadi cara pemberian yang penting. Akan tetapi, walaupun absorpsi melalui saluran cerna mungkin cepat, ketersediaan hayati dari beberapa senyawa yang dilakukan dengan cara ini mungkin berkurang karena metabolisme first-pass yang jelas dengan glukoronidasi dalam hati. Oleh karena itu diperlukan dosis oral yang jauh lebih tinggi untuk memperoleh efek terapi daripada dosis yang diperlukan bila digunakan cara pemberian parenteral. Karena jumlah enzim yang dapat memberikan respons pada reaksi ini sangat bervariasi pada individu – individu yang berlainan, maka dosis oral yang efektif dari suatu senyawa mungkin sulit ditentukan. Kodein dan oksikodon mempunyai rasio potensi oral : parenteral yang tinggi karena konjugasinya dicegah oleh gugusan metil pada gugusan hidroksil aromatik.

B. Distribusi : ambilan opioid oleh berbagai organ dan jaringan adalah merupakan fungsi faktor fisiologik dan kimia. Meskipun semua opioid terikat pada protein – protein plasma dengan berbagai tingkat afinitas, senyawa – senyawa ini dengan cepat meninggalkan darah dan terlokalisasi dengan konsentrasi tertinggi di jaringan – jaringan yang perfusinya tinggi seperti di paru, hati, ginjal, dan limpa. Walupun konsentrasi obat di otot rangka dapat sangat rendah, jaringan ini merupakan tempat simpanan utama untuk obat karena masanya yang lebih besar. Walaupun demikian, akumulasi dalam jaringan lemak juga penting, terutama pada pemakaian dosis tinggi opioid yang sangat lipofilik, yang lambat dimetabolisme seperti pada fentanil. Kadar opioid – opioid dalam otak biasanya relatif rendah dibanding dengan diorgan – organ tubuh lain karena adanya sawar darah otak. Namun demikian , sawar darah otak lebih mudah dilewati oleh senyawa – senyawa hidroksil aromatik yang disubstitusi pada atom C3, seperti pada heroin dan kodein. Tampaknya lebih banyak kesulitan untuk memperoleh kadar dengan senyawa – senyawa amfoter (misalnya obat – obat yang mempunyai sifat – sifat asam dan basa) seperti morfin. sawar ini pada neonatus masih belum sempurna. Penggunaan analgesik opioid untuk analgesia obstetri dapat menimbulkan depresi pernapasan pada bayi baru lahir.

C. Metabolisme : sebagian besar opioid – opioid dikonversi menjadi metaboit – metabolit polar, sehingga mudah disekresi oleh ginjal. Senyawa yang mempunyai gugusan hidroksil bebas seperti morfin dan levorfanol dengan mudah dikonjugasi dengan asam glukoronat. Senyawa – senyawa bentuk ester (seperti meperidin dan heroin) lebih cepat dihidrolisis oleh esterase yang umum terdapat dalam jaringan. Heroin (diasetilmorfin) dihidrolisis menjadi monoasetilmorfin dan akhirnya jadi morfin, yang kemudian di konjugasi dengan asam glukoronat. Metabolit yang dikonjugasi dengan glukoronat ini bersifat polar diperkirakan tidak aktif, tetapi penemuan terakhir menunjukkan bahwa morfin-6-glukoronid mempunyai sifat – sifat analgesik yang yang mungkin lebih besar dari morfin sendiri. Akumulasi metabolit aktif ini dapat dijumpai pada pasien – pasien gagal ginjal serta dapat memperpanjang dan lebih kuat efek analgesiknya meskipun yang masuk ke SSP tebatas. Opioid juga mengalami N-dimetilasi oleh hati, tetapi ini hanya sebagian kecil saja. Akumulasi metabolit meperidin, normeperidin, dapat ditemukan pada pasien – pasien fungsi ginjal yang menurun atau pasien yang menerima obat dalam dosis yang jauh lebih tinggi. Dalam konsentrasi yang cukup tinggi, metabolit dapat menimbulkan kejang terutama pada anak.

D. Ekskresi : Metabolit polar opioid diekskresi terutama melalui ginjal. Sebagian kecil opioid diekskresi dalam bentuk tidak berubah. Konjugasi glukoronid juga diekskresi kedalam empedu, tetapi sirkulasi enterohepatik hanya merupakan bagian kecil dari proses ekskresi.(1,4)

MEKANISME KERJA

Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan system saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipothalamus corpus striatum, system aktivasi retikuler dan di korda spinalis yaitu substantia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek. Reseptor tempat terikatnya opioid disel otak disebut reseptor opioid (keterangan tentang reseptor opioit telah dijelaskan sebelumnya).
Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi dengan semua jenis reseptor akan tetapi dengan afinitas yang berbeda, dan dapat bekerja sebagai agonis, antagonis, dan campuran. Opioid mempunyai persamaan dalam hal pengaruhnya pada reseptor, karena itu efeknya pada berbagai organ tubuh juga mirip. Perbedaan yang ada menyangkut kuantitas, afinitas pada reseptor dan tentu juga kinetik obat yang bersangkutan.(4)

Secara umum, efek obat-obat narkotik/opioid antaralain:

A. Efek sentral

  • Menurunkan persepsi nyeri dengan stimulasi (pacuan) pada reseptor opioid (efekanalgesi).
  • Pada dosis terapik normal, tidak mempengaruhi sensasi lain.
  • Mengurangi aktivitas mental (efek sedative).
  • Menghilangkan konflik dan kecemasan (efek transqualizer).
  • Meningkatkan suasana hati (efek euforia), walaupun sejumlah pasien merasakan sebaliknya (efek disforia).
  • Menghambat pusat respirasi dan batuk (efek depresi respirasi dan antitusif)
  • Pada awalnya menimbulkan mual-muntah (efek emetik), tapi pada akhirnya menghambat pusat emetik (efek antiemetik)
  • Menyebabkan miosis (efek miotik)
  • Memicu pelepasan hormon anti deuretik (efek anti deuretik)
  • Menunjukkan perkembangan toleransi dan dependensi dengan pemberian dosis yang berkepanjangan.(2)

B. Efek Perifer

  • Menunda pengosongan lambung dengan kontriksi piloru.
  • Mengurangi motilitas gastrointestinal dan menaikkan tonus (konstipasi spastik).
  • Kontraksi sfingter saluran empedu.
  • Menaikkan tonus otot kandung kencing.
  • Menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan resiko reaksi ortostastik.
  • Menaikkan insidensi reaksi kulit, urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan histamin, dan memicu bronkospasme pada pasien asma.(2)

MORFIN
Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah dan menguntungkan, yang dibuat dari bahan getah papaver somniferum. Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting). Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif, yakni tidak begitu mempengaharui unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran, bahakan persepsi nyeripun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi.(2,6)

Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme :

(1) morfin meninggikan ambang rangsang nyeri

(2) morfin dapat mempengaharui emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul dikorteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari thalamus

(3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat.(2)

Farmakodinamik
Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos. Efek morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormone anti diuretika (ADH). (4)

Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat mmenembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaharui janin. Ekresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat.

Indikasi Morfin dan opioid lain terutama diidentifikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan.(4)

Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai :

  • Infark miokard
  • Neoplasma
  • Kolik renal atau kolik empedu
  • Oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner
  • Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan
  • Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.(7)

Dosis dan sediaan Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yamg diperlukan.

Morfin diperdagangkan secara bebas dalam bentuk:

  1. Bubuk atau serbuk berwarna putih dan mudah larut dalam air. Dapat disalahgunakan dengan jalan menyuntikkan, merokok atau mencampur dalam minuman, adakalanya ditaburkan begitu saja pada luka-luka bekas disilet sendiri oleh para korban.
  2. Cairan berwarna putih disimpan dalam ampul atau botol, pemakaiannya hanya dilakukan dengan jalan menyuntik.
  3. Balokan dibuat dalam bentuk balok-balok kecil dengan ukuran dan warna yang berbeda-beda.
  4. Tablet Dibuat dalam bentuk tablet kecil putih.(5)

Morfin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian subkutan (dibawah kulit) atau intra muskuler, tetapi tidak diabsorbsi dengan baik di saluran pencernaan. Oleh sebab itu morfin tidak pernah tersedia dalam bentuk obat minum. Efek subyektif yang dialami oleh individu pengguna morfin antara lain merasa gembira, santai, mengantuk, dan kadang diakhiri dengan mimpi yang menyenangkan. Pengguna morfin umumnya terlihat apatis, daya konsentrasinya menurun, dan pikirannya sering terganggu pada saat tidak menggunakan morfin. Efek tersebut yang selanjutnya menyebabkan penggunanya merasa ketagihan. Disamping memberi manfaat klinis, morfin dapat memberikan resiko efek samping yang cukup beragam, antara lain efek terhadap sistema pernafasan, saluran pencernaan, dan sistema urinarius.

Efek pada sistema pernafasan berupa depresi pernafasan, yang sering fatal dan menyebabkan kematian. Efek ini umumnya terjadi beberapa saat setelah pemberian intravenosa atau sekitar satu jam setelah disuntikkan intramuskuler. Efek ini meningkat pada penderita asma, karena morfin juga menyebabakan terjadinya penyempitan saluran pernafasan. Efek pada sistema saluran pencernaan umumnya berupa konstipasi, yang terjadi karena morfin mampu meningkatkan tonus otot saluran pencernaan dan menurunkan motilitas usus. Pada sistema urinarius, morfin dapat menyebabkan kesulitan kencing. Efek ini timbul karena morfin mampu menurunkan persepsi terhadap rangsang kencing serta menyebabkan kontraksi ureter dan otot- otot kandung kencing. Tanda- tanda pemakaian obat bervariasi menurut jenis obat, jumlah yang dipakai, dan kepribadian sipemakai serta harapannya. (7)

Gejala kelebihan dosis :

Pupil mata sangat kecil (pinpoint), pernafasan satu- satu dan coma (tiga gejala klasik). Bila sangat hebat, dapat terjadi dilatasi (pelebaran pupil). Sering disertai juga nausea (mual). Kadang-kadang timbul edema paru (paru-paru basah).

Gejala–gejala lepas obat :

Agitasi, nyeri otot dan tulang, insomnia, nyeri kepala. Bila pemakaian sangat banyak (dosis sangat tinggi) dapat terjadi konvulsi(kejang) dan koma, keluar airmata (lakrimasi), keluar air dari hidung(rhinorhea), berkeringat banyak, cold turkey, pupil dilatasi, tekanan darah meninggi, nadi bertambah cepat, hiperpirexia (suhu tubuh sangat meninggi), gelisah dan cemas, tremor, kadang-kadang psikosis toksik.(4,7)

Gambar 7: Struktur dari Morphin

gbr 8


DIAGNOSA KETERGANTUNGAN NARKOTIKA

Diagnosis ketergantungan penderita opiat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis (medik psikiatrik) dan ditunjang dengan pemeriksaan urine. Pada penyalahgunaan narkotika jenis opiat, seringkali dijumpai komplikasi medis, misalnya kelainan pada organ paru-paru dan lever. Untuk mengetahui adanya komplikasi, dilakukan pemeriksaan fisik pada penderita oleh dokter ahli penyakit dalam, ditunjang oleh pemeriksaan X-ray thorax foto dan laboratorium untuk mengetahui fungsi lever (SGOT dan SGPT).
Banks A. dan Waller T. (1983) menyatakan bahwa edema paru akut merupakan komplikasi serius, terutama pada pecandu narkotika dosis tinggi (over dosis). Selanjutnya, komplikasi lainnya adalah hepatitis (4%). Komplikasi medis ini erat kaitannya dengan cara penggunaan narkotika tersebut, yaitu dengan dihirup (chasing dragon) melalui mulut atau hidung, heroin yang dipanasi di atas kertas alumunium foil, atau suntikan intravena. Khasiatnya terutama adalah analgetik (menghilangkan rasa nyeri) dan euforia (gembira). Pemakaian yang berulangkali dapat menimbulkan toleransi dan ketergantungan. Penyalahgunaan narkotika merupakan suatu pola penggunaan zat yang bersifat patologik paling sedikit satu bulan lamanya. Opioida termasuk salah satu yang sering disalahgunakan manusia. Menurut ICD 10 (International Classification Diseases), berbagai gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat dikelompokkan dalam berbagai keadaan klinis, seperti intoksikasi akut, sindroma ketergantungan, sindroma putus zat, dan gangguan mental serta perilaku lainnya.
Sindroma putus obat adalah sekumpulan gejala klinis yang terjadi sebagai akibat menghentikan zat atau mengurangi dosis obat yang persisten digunakan sebelumnya. Keadaan putus heroin tidak begitu membahayakan. Di kalangan remaja disebut “sakau” dan untuk mengatasinya pecandu berusaha mendapatkan heroin walaupun dengan cara merugikan orang lain seperti melakukan tindakan kriminal. Gejala objektif sindroma putus opioid, yaitu mual/muntah, nyeri otot, lakrimasi, rinorea, dilatasi pupil, diare, menguap/sneezing, demam, dan insomnia. Untuk mengatasinya, diberikan simptomatik. Misalnya, untuk mengurangi rasa sakit dapat diberi analgetik, untuk menghilangkan muntah diberi antiemetik, dan sebagainya. Pengobatan sindroma putus opioid harus diikuti dengan program terapi detoksifikasi dan terapi rumatan. Kematian akibat overdosis disebabkan komplikasi medis berupa gangguan pernapasan, yaitu oedema paru akut (Banks dan Waller). Sementara, Mc Donald (1984) dalam penelitiannya menyatakan bahwa penyalahgunaan narkotika mempunyai kaitan erat dengan kematian dan disabilitas yang diakibatkan oleh kecelakaan, bunuh diri, dan pembunuhan.
Penyalahgunaan obat- obatan sangat beragam, tetapi yang paling banyak digunakan adalah obat yang memiliki tempat aksi utama di susunan saraf pusat dan dapat menimbulkan gangguan- gangguan persepsi, perasaan, pikiran, dan tingkah laku serta pergerakan otot- otot orang ynag menggunakannya. Tujuan penyalahgunaan pada umumnya adalah untuk mendapatkan perubahan mental sesaat yang menyenangkan. Efek menenangkan sering dipergunakan untuk mengatasi kegelisahan, kekecewaan, kecemasan, dorongan – dorongan yang terlalu berlebihan oleh orang yang lemah mentalnya atau belum matang kepribadiannya. Sedangkan efek merangsang sering dipakai untuk melancarkan pergaulan, atau untuk suatu tugas, menambah gairah sex, meningkatkan daya tahan jasmani.(2,4)

Penyalahgunaan obat dapat diketahui dari hal-hal sebagai berikut :

  • tanda- tanda pemakai obat
  • keadaan lepas obat
  • kelebihan dosis akut
  • komplikasi medik ( penyulit kedoktearn )
  • komplikasi lainnya (sosial, legal, dsb).(2)

GAMBARAN FORENSIK

Pemeriksaan Barang Bukti Hidup Pada Kasus Pemakai Morfin

Kasus keracunan merupakan kasus yang cukup pelik, karena gejala pada umumnya sangat tersamar, sedangkan keterangan dari penyidik umumnya sangat minim. Hal ini, tentu saja akan menyulitkan dokternya, apalagi untuk racun- racun yang sifat kerjanya mempengaruhi sistemik korban. Akibatnya pihak dokter/ laboratorium akan terpaksa melakukan pendeteksian yang sifatnya meraba- raba, sehingga harus melakukan banyak sekali percobaan yang mana akan menambah biaya pemeriksaan. Untuk memudahkan pemeriksaan, dilakukan pembagian kasus keracunan sebagai berikut:

Anamnesa dan Pemeriksaan fisik

Gejala klinis :

  1. pada umumnya sama dengan gejala klinis keracunan barbiturate; antara lain nausea, vomiting, nyeri kepala, otot lemah, ataxia, suka berbicara, suhu menurun, pupil menyempit, tensi menurun dan sianosis.
  2. pada keracunan akut : miosis, koma, dan respirasi lumpuh.
  3. gejala keracunan morfin lebih cepat nampak daripada keracunan opium.
  4. gejala ini muncul 30 menit setelah masuknya racun, kalau parenteral, timbulnya hanya beberapa menit sesudah masuknya morfin.(1)

Tahap 1, tahap eksitasi, Berlangsung singkat, bahkan kalau dosisnya tinggi, tanpa ada tahap 1, terdiri dari :

  • Kelihatan tenang dan senang, tetapi tak dapat istirahat.
  • Halusinasi.
  • Kerja jantung meningkat, wajah kemerahan dan kejang-kejang.
  • Dapat menjadi maniak.(2)

Tahap 2, tahap stupor, dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam (gejala ini selalu ada), terdiri dari :

  • Kepala sakit, pusing berat dan kelelahan.
  • Merasa ngantuk dan selalu ingin tidur.
  • Wajah sianosis, pupil amat mengecil.
  • Pulse dan respirasi normal.(2)

Tahap 3, tahap koma, tidak dapat dibangunkan kembali, terdiri dari :

  • Tidak ada reaksi nyeri, refleks menghilang, otot-otot relaksasi.
  • Proses sekresi.
  • Pupil pinpoint, refleks cahaya negative. Pupil melebar kalau ada asfiksisa, dan ini merupakan tanda akhir.
  • Respirasi cheyne stokes.
  • Pulse menurun, kadang-kadang ada kejang, akhirnya meninggal.(2)

Pemeriksaan Toksikologi Sebagai barang bukti :

1. Urin, cairan empedu dan jaringan tempat suntikan.

2. Darah dan isi lambung, diperiksa bila diperkirakan keracunannya peroral.

3. Nasal swab, kalau diperkirakan melalui cara menghirup.

4. Barang bukti lainnya.(8)

Metode yang digunakan :

  1. Dengan Thin Layer Chromatography atau dengan Gas Chromatography (Gas Liquid Chromatography) Pada metode TLC, terutama pada keracunan peroral: barang bukti dihidroliser terlebih dahulu sebab dengan pemakaian secara oral,morfin akan dikonjugasikan terlebih dahulu oleh glukuronida dalam sel mukosa usus dan dalam hati. Kalau tanpa hidrolisa terlebih dahulu, maka morfin yang terukur hanya berasal dari morfin bebas, yang mana untuk mencari beberapa morfin yang telah digunakan, hasil pemeriksaan ini kurang pasti.
  2. Nalorfine Test. Penafsiran hasil test : Kadar morfin dalam urin, bila sama dengan 5 mg%, berarti korban minum heroin atau morfin dalam jumlah sangat banyak. Bila kadar morfin atau heroin dalam urin 5-20 mg%, atau kadar morfin/heroin dalam darah 0,1-0,5 mg%, berarti pemakaiannya lebih besar dosis lethalis. Permasalahan timbul bila korban memakai morfin bersama dengan heroin atau bersama kodein. Sebab hasil metabolic kodein, juga ada yang berbentuk morfin, sehingga morfin hasil metabolic narkotika tadi berasal dari morfinnya sendiri dan dari kodein. Sebagai patokan dapat ditentukan, kalau hasil metabolit morfinnya tinggi, sedang mensuplai morfin hanya sedikit, dapat dipastikan korban telah mensuplai juga kodein cukup banyak.(2,8)

Pemeriksaan Barang Bukti Mati Pada Kasus Pemakai Morfin

Penyelidikan pada kasus kematian akibat pemakaian narkoba memerlukan kerja sama dalam satu tim yang terdiri dari kepolisian (penyidik), ahli forensic, psikiater maupun ahli toksikologi. Pertanyaan–pertanyaan yang sering muncul sehubungan dengan hal di atas meliputi apakah kejadian tersebut merupakaan kesengajaan (bunuh diri), kecelakaan, ataupun kemungkianan pembunuhan? jenis obat apakah yang digunakan? Melalui cara bagaimanakah pemakaian obat tersebut? Adakah hubungan antara waktu pemakaian dengan saat kematian? Apakah korban baru pertama kali memakai, atau sudah beberapa kali memakai, ataupun sudah merupakan pecandu berat? Adakah riwayat alergi terhadap obat tersebut? Apakah jenis narkoba yang digunakan memprovokasi penyakit- penyakit yang mungkin sudah ada pada korban? Apakah mungkin penyakit tersebut terlibat sehubungan dengan kematian korban? Ringksnya, penyidikan terhadap kasus narkoba meliputi 4 aspek, yaitu :

1. TKP (Tempat Kejadian Perkara).

2. Riwayat korban.

3. Otopsi.

4. Pemeriksaan Toksikologi

Dalam kaitannya dengan TKP, dapat ditemukan bukti- bukti adanya pemakaian narkoba. Semua pakaian maupun perhiasan dan juga barang bukti narkoba yang ditemukan di TKP harus diperiksa dan dianalisa lebih lanjut. Riwayat dari korban yang perlu digali meliputi riwayat pemakaian narkoba yang bisa didapatkan melalui catatan kepolisian, informasi dari keluarga, teman, maupun saksi- saksi yang berkaitan dengan informasi penggunaan narkoba (Tedeschi, 1977).

Otopsi dikonsentrasikan pada pemeriksaan luar dan dalam dan juga pada pengumpulan sampel yang adekuat untuk pemerikasaan toksikologi. Biasanya temuan yang paling sering didapatkan pada pemeriksaan luar adalah busa yang berasal dari hidung dan mulut. Hal ini merupakan karakteristik kematian yang disebabkan oleh pemakaian narkoba meskipun tidak bersifat diagnostik, karena pada kasus tenggelam, asfiksia, maupun gagal jantung dapat juga ditemukan tanda kematian di atas. Selain itu pada pemeriksaan luar dapat juga ditemukan bekas penyuntikan maupun sayatan- sayatan di kulit yang khas pada pemakaian narkoba. Pada pemeriksaan dalam, penyebab kematian harus digali dengan cara mencari tanda- tanda dari komplikasi akibat pemakaian narkoba. Pembukaan cavum pleura dan jantung dibarengi dengan mengguyur air untuk melihat adanya pneumothoraks, maupun emboli udara. Pada pemeriksaan paru, biasanay didapatkan paru membesar sebagai akibat adanya edema dan kongesti. Pada pemeriksaan getah lambung jarang didapatkan bahan – bahan narkoba yang masih utuh tetapi warna dari cairan lambung daapt memberi petunjuk mengenai jenis narkoba yang dikonsumsi. Saluran pencernaan harus diperiksa secara keseluruhan untuk mencari bukti adanya usaha – usaha penyelundupan narkoba ( Tedeschi, 1977).(8)

Pemeriksaan makroskopis meliputi pemeriksaan kulit dan vena pada daerah- daerah yang dicurigai merupakn tempat suntikan. Penilaian mengenai adanya perdarahan, peradangan, benda- benda asing, dan tingkat ketebalan vena akan dapat memberikan informasi mengenai berapa lama telah dilakukan kebiasaan menyuntik.
Ahli toksikologi perlu mendapatkan riwayat paling lengkap dan berbagai macam barang bukti untuk dilakukan pemeriksaan. Jaringan dan cairan tubuh yang diperiksa meliputi hepar, ginjal, paru, otak, getah lambung, urine, darah, dan cairan empedu. .Cairan empedu dan urine secara khusus sangat penting pada kasus- kasus kematian akibat pemakaian opiate. Rambut dan kuku kadang- kadang perlu diperiksa untuk pemeriksaan toksikologi lain. Usapan mukosa hidung kadang- kadang dapat menunjukkan bekas hisapan pada pemakaian kokain maupun heroin (Knight, 1996).(8)

Pemeriksaan pada kematian akibat pemakaian opioid (morfin atau heroin)

A. Pemeriksaan luarTanda- tanda yang khas sukar didapat, namun masih ada beberapa petunjuk yang dapat dipakai sebagai acuan membuat kesimpulan sebab kematian.

  1. Needle marks Lokasi : fossa ante cubiti, lengan atas, dan punggung tangan dan kaki. Tempat lain adalah leher, dibawah lidah, perineal, dan pada perempuan disekitar papilla mamae. Needle marks yang masih baru sering disertai tanda- tanda perdarahan sub kutan, perivenous, yaitu kalau dipencet akan keluar cairan serum atau darah. Pada kasus ketagihan, banyak terdapat bekas suntikan yang lama berupa jaringan parut titik- titik sepanjang lintasan vena dan disebut “intravenous mainline tracks”. Kadang – kadang untuk menyamarkan needle marks itu dituttup dengan gambaran tattoase. Juga dapat ditemukan abses, granuloma atau ulkus, yang mana cara ini serinag didapatkan pada korban yang melakukannya dengan cara suntikan subkutan. Dengan demikian efek toksikologinya diperlama, artinya efek kenikmatannya menjadi lebih tahan lama. Pada mereka inilah sering diketemukan adanya tanda- tanda abses dan lain sebagainya. Bagaimana kalau tidak terdapat tanda bekas suntikan? Bisa saja hal ini terjadi, sebab mungkin sekali korban menggunakan cara lain, misalnya denngan menghirup bau morfin, atau merokok dengan campuran heroin. Oleh karena itu dalam pemeriksaan toksikologi, perlu diambil sediaan usap ingus (‘nasalswab’).
  2. Hipertrofi kelenjar getah bening regional. Pada korban yang sering menyuntik lengannya maka sering terdapat hipertrofi kelenjar getah bening di regio aksiler.Hal ini merupakan ‘Drain phenomenon’. Biasanya karena jarum suntikannya tidak steril. Dengan pemeriksaan PA tampak hipertrofi dan hyperplasia limfositik.
  3. gelembung-gelembung pada kulitSering terdapat pada telapak tangan/kaki, dan hal ini sering dilakukan untuk suntikan dalam jumlah besar (overdosis). Harus dibedakan dengan intoksikasi gas CO dan barbiturate.
  4. Tanda mati lemas. Keluarnya busa putih dan halus dari lubang hidung dan mulut yang makin lama tampak kemerahan karena adanya proses autolisis. Tanda ini dianggap sebagai tanda terjadinya edema pulmonum. Juga terdapat tanda sianosis pada muka, kuku, ujung-ujung jari, dan bibir. Juga ada tanda perdarahan (bintik-bintik perdarahan) pada kelopak mata. Bahkan pada keracunan dengan membau, dapat ditemukan perforasi pada septum nasi.

B. Pemeriksaan Dalam Paru-paru

  1. Perubahan akut : Mulai saat suntikan terakhir sampai dengan saat kematian. Adapun perubahan awal yang terjadi adalah :

a) Dari 0 sampai 3 jam : hanya terdapat edema dan kongesti sel-sel mononuclear atau makrofag pada dinding alveoli. PA : Paru-paru tampak voluminous, kadang-kadang bagian posterior lebih padat sehingga tak ada krepitasi. Bagian anterior tampak ada emfisema yang difus dengan terdapat benda-benda asing yang terisap di dalam bronkus. Tampak ada kongesti, edema dengan sel-sel mononuclear dalam alveoli.

b) Dari 3 sampai 12 jam pertama. Terdapat narcotic lungs (siegel). Tanda ini amat bermakna ( 25 % kasus). Secara makroskopis tampak paru sangat mngembang (over inflated). Trakea tertutup busa halus. Pada permukaan paru-paru dan penampangnya tampak gambaran lobuler akibat adanya bermacam-macam tingkat aerasi (atelaksi adalah aerasi yang normal, amat mengembang, dan emfisma), kongesti, dan terdapat perdarahan di beberapa tempat terutama di bagian belakang dan bawah (posterior dan inferior). Secara PA, tampak sel-sel makrofag, perdarahan alveolar, intrabronkhiolar, subpleural, dan sel-sel polimorfonuklear. Dapat ditemukan juga aspirat di daalm traktus respiratorius. Sering berupa susu, karena susu sering dianggap antidotum opiate.

c) Dari 12 sampai 24 jam. Proses pneumoniasis tampak lebih rata, tampak sel-sel PMN. Sedangkan proses lanjut yang dapat terjadi adalah apabila interval > 24 jam. Akan tampak pneumonia lobularis diffusa, tampak kecoklatan dan granula.

  1. Perubahan kronis. Terdapat perubahan berupa pneumonia granulosis vascular. Akibat tanda adanya reaksi talk (magnesium silikat, filter untuk natkotika). Talk ini juga dapat masuk bersama narkotik saat disuntikkan. Kristal-kristal ini dapat dilihat dengan mikroskop polarisasi, berwarna putih, bening atau kekuningan, dan terdapat garis refraksi. Granuloma-granuloma ini bisa dilihat dalam vascular, perivascular, atau di dalam alveolus.

HATI

Perubahan ini nampak lebih jelas pada korban yang sudah lama menyandu. Terdapat pengumpulan limfosit, sel-sel PMN, dan beberapa sel-sel narkotika. Juga nampak fibrosis jaringan, dan adanya sel-sel ductus biliaris yang mengalami proliferasi.

Ada 4 kelainan :

1. Hepatitis agresif kronika : tandanya ada pembentukan septa.

2. Hepatitis persisten kronika : adanya infiltrasi sel radang didaerah portal

3.Hepatitis reaktif kronika.

4.Perlemakan hati.

GETAH BENING

Lokasi : terutama di daerah portal hepatic, di sekitar kaput pankreas dan duktus kholedocus. Makin berat menyandunya, makin banyak kelainanya.

Makroskopis : tampak pembesaran

Mikroskopis : tampak adanya hyperplasia dan hipertropi limfosit.

C. Pemeriksaan toksikologi

1. Urin, cairan empedu, dan jaringan temapt suntikan.

2.Darah dan isi lambung, diperiksa bila keracunanya peroral.

3. Nasal swab, kalau diperkirakan melalui cara membau dan menghirup

4. Barang bukti lainnya.(2,8)

PROGRAM PENGOBATAN ATAU TERAPI (ANTI DOTUM)

Naloxone merupakan salah satu obat untuk melawan keracunan narkotika atau disebut opiat antagonis. Obat lain untuk melawan pengaruh morfin atau heroin adalah nalorphine, levallophan, cyclazocine, tetapi risikonya cukup berbahaya. Naloxone dapat membantu dengan cepat kalau diberikan dalam bentuk suntikan. Pemberian dalam bentuk suntikan naloxone HCl (Narcan, Nokoba) yang dimulai dengan dosis 0,4 mg/dl, dapat memperbaiki keadaan gangguan pernapasan. Pemberian sebaiknya langsung masuk pembuluh darah balik atau intravena. Setelah disuntik, diperhatikan keadaan pernapasannya. Jika belum membaik, setelah diobservasi dalam 3–5 menit dapat diulangi lagi ditambah satu ampul lagi sampai efeknya tercapai dengan respons perbaikan kesadaran, hilangnya depresi pernapasan, dan dilatasi pupil.

Program terapi penyalahgunaan narkotika terdiri atas 2 fase, yaitu:

 Terapi detoksifikasi

 Terapi rumatan (pemeliharaan)

Kedua terapi di atas harus berkesinambungan, sebab terapi detoksifikasi saja bukan merupakan penyembuhan. Setelah penderita melewati fase kritisnya maka dia harus menghentikan ketergantungannya melalui program terapi di atas. Para pecandu narkotika jumlahnya semakin tahun semakin meningkat. Penyembuhan secara medis untuk para pecandu narkotika sering menimbulkan kondisi relaps, kambuh lagi. Pasien ketergantungan narkotika dimungkinkan menjalani detoksifiksi di rumahnya selama 5 hari berturut-turut. Selain itu, untuk penyembuhan membutuhkan terapi rumatan (pemeliharaan). Khusus untuk ketergantungan opioida, diperlukan suatu program terapi khusus. Selain diberikan terapi obat, perlu dilakukan terapi sosial, terapi okupasional, atau terapi religius. Pendekatan holistik melibatkan tim profesional seperti dokter/psikiater, perawat, psikolog, tokoh agama, dan pekerja sosial akan memberikan hasil yang memuaskan.(9)

6 Comments »

  1. Hey, I found your blog while searching on Google. I have a blog on online stock trading, I’ll bookmark your site.

    Comment by Online Stock Trading — October 17, 2009 @ 5:24 am | Reply

  2. bagaimana cara mendidentifikasi putaw secara analisa kimia?

    Comment by taufik — December 16, 2009 @ 4:11 pm | Reply

    • duh, saya bukan analis 🙂
      mungkin nanti saya coba cari2 lagi info-nya
      terima kasih sudah mampir

      Comment by ningrum — December 17, 2009 @ 8:58 pm | Reply

  3. mbak ningrum…met kenal yah….

    blognya bagus, jadi semangat ngeblog juga

    bisa ga ya kita tukeran link, url nya mbak uda saya pasang di blogku….www.hajardaku.wordpress.com…maturnuwun mbak…..

    Comment by hajardaku — June 12, 2010 @ 3:04 am | Reply

    • met kenal juga 🙂
      alhamdulillah blog ini dibilang bagus..
      ayo tukeran link 😀

      Comment by ningrum — June 14, 2010 @ 6:13 am | Reply

  4. mengerikan sekali keracunan zat seperti ini

    Comment by depot pulsa — February 29, 2012 @ 11:14 pm | Reply


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.